Selasa, 20 Desember 2011

contoh makalah mengenai pemilu

malamm kawaaaaann
2 kata : semoga bermanfaat
2 huruf : Tq

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD RI 1945) menentukan : “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Mana kedaulatan sama dengan makna kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi wewenang membuat keputusan.
Tidak ada satu pasalpun yang menentukan bahwa negara Republik Indonesia adalah suatu negara demokrasi. Namun, karena implementasi kedaulatan rakyat itu tidak lain adalah demokrasi, maka secara implesit dapatlah dikatakan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi.
          Hal yang demikian wujudnya adalah, manakala negara atau pemerintah menghadapi masalah besar, yang bersifat nasional, baik di bidang kenegaraan, hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya ekonomi, agama “ semua orang warga negara diundang untuk berkumpul disuatu tempat guna membicarakan, merembuk, serta membuat suatu keputusan .” ini adalah prinsipnya.[1]
Salah satu bentuk dari hal tersebut ialah semua warga terlibat aktif dalam pelaksanaan pemilihan umum ( PEMILU ) . Pengertian pemilu itu sendiri adalah menurut UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
B.     POKOK PERMASALAHAN
1.         Bagaimana sejarah pemilu ?
2.         Bagaimana sistem pemilu di Indonesia ?

C.    TUJUAN PERMASALAHAN
1.      Mengetahui pengaturan dan pelaksanaan pemilu dalam beberapa kurun waktu.
2.      Mempelajari pergulatan  politik dalam rangka sistem pengaturan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pemilu
1.      Pemilu tahun 1955
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Beerdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tsb, maka pada bulan Septamber 1955 telah dilakukan Pemilihan Umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), selanjutnya dalm bulan Desember 1955 telah pula diselenggarakan Pemilihan Umum, umtuk memilih anggota-anggota Konstituante; yang pelantikannya dilakukan pada hari tanggal 10 November 1956.


2.      Pemilu Tahun 1971
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.

3.      Pemilu Tahun 1977
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.
Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.

4.      Pemilu Tahun 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.

5.      Pemilu Tahun 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.



6.      Pemilu Tahun 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

7.      Pemilu Tahun 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

8.      Pemilu Tahun 2004
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 Appril 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009.
Pemilihan Umum Anggota DPR
Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan diikuti oleh 24 partai politik. Dari 124.420.339 orang pemilih terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 113.462.414 suara (91,19%) dinyatakan sah.
Pemilihan Umum Anggota DPD
Pemilihan Umum Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak, dengan peserta pemilu adalah perseorangan. Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 kursi, dengan daerah pemilihan adalah provinsi.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2004
Aturan
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota DPR 2009. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama
Pemilu putaran pertama diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 dan diikuti oleh 5 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dari 153.320.544 orang pemilih terdaftar, 122.293.844 orang (79,76%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 119.656.868 suara (97,84%) dinyatakan sah. Karena tidak ada satu pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, yakni SBY-JK dan Mega Hasyim.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua
Pemilu putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004, dan diikuti oleh 2 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004, dari 150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah.

B.     Sistem Pemilu di Indonesia
Pemilu pada umum nya mengenal 2 sistem yaitu sistem distrik dan sistem proporsional, tapi itu hanya istilah bagi orang-orang awam. 2 sistem yang sebenarnya adalah sistem Single Member Constituency ( SMC, atau konstituensi beranggota tunggal ) dan Multi Member Constituency ( MMC, konstituensi beranggota banyak ). Prinsip dasar yang pertama adalah menetapkan wilayah untuk perhitungan suara. Jadi wilayah nasional ditentukan terlebih dahulu, apakah sebagai satu unit perhitungan suara atau masih dibagi bagi lagi.
Di pemilu 2004 wilayah propensi dibagi terlebih dahulu, baru di bagi bagi lagi menjadi beberapa daerah pemilihan ( dapil ). Sistem yang diterapkan yaitu MMC, yaitu disetiap dapil terdapat jatah korsi sesuai dengan bilangan pembagi penduduk ( BPP ) yang ditetapkan sacara berbeda beda.
Untuk menetap kan dapil dan BPP itu tidak dilakukan seragam atau sama dari bawah. Artinya, menetukan dulu banyaknya jumlah penduduk, lalu dibagi sama rata dengan angka yang sama, untuk menghasil kan jumlah kursi DPR. Juga sebaliknya, jumlah korsi di DPR ditetapkan dulu yaitu 550 kursi, baru menetapkan dapil dan BPP nya.
Menetapan dapil dan BPP sangat penting. Karena keputusan menetapkan dapil dan BPP itu bukan hanya menyangkut persolan teknis semata, melainkan mengenai aspek subtansial pemilu sebagai pemilu yang benar benar demokrasi. Batasbatas dapil yang berbeda akan menghasilkan representasi yang berbeda pula.
Penarikan garis batas dapil seperti itulah yang dalam khasanah kosa kata politik disebut sebagai gerrymandering. Berbagai kasus di negara yang menyelengarakan pemilu dalam transisi demokrasi menunjukkan, KPU-nya tidak netral dan imparsial dalam gerrymandering ini.[2]













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pemilu di Indonesia di ada kan 8 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dan 2004.
Pemilu tahun 2004 diadakan 2 kali putaran untuk pemilihan Presiden dan wakil presiden. Pemilu putaran pertama diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 dan diikuti oleh 5 pasangan calon dan pemilu putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004, dan diikuti oleh 2 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004, dari 150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah.
Pemilu pada umum nya mengenal 2 sistem yaitu sistem distrik dan sistem proporsional, tapi itu hanya istilah bagi orang-orang awam. 2 sistem yang sebenarnya adalah sistem Single Member Constituency ( SMC, atau konstituensi beranggota tunggal ) dan Multi Member Constituency ( MMC, konstituensi beranggota banyak ). Prinsip dasar yang pertama adalah menetapkan wilayah untuk perhitungan suara. Jadi wilayah nasional ditentukan terlebih dahulu, apakah sebagai satu unit perhitungan suara atau masih dibagi bagi lagi.












Daftar Pustaka


Prof. H Soehino, S.H, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di  Indonesia ,UGM Yogyakarta, 2010.

Sulistyo Hermawan, Siapa Makan Siapa, pensil-324, jakarta, 2011




[1]  Prof. H Soehino, S.H, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di  Indonesia ,UGM Yogyakarta, 2010, hal 72.
[2]  Hermawan Sulistyo, Siapa Makan Siapa, pensil-324, jakarta, 2011, hal 7.

1 komentar:

  1. malaaam, salam kenal,
    2 kata = sangat bermanfaat
    2 huruf = tc
    :-)

    BalasHapus